Jumat, 09 Mei 2008

SEMPITNYA PELUANG DEKRIMINALISASI PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI INDONESIA

Jika kita membicarakan mengenai dekriminalisasi suatu perbuatan, tentu perbuatan yang akan di-dekriminalisasikan tersebut telah di kriminalisasikan terlebih dahulu, atau dinyatakan sebagai suatu kejahatan dalam perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, kita juga harus melihat bagaimana perbuatan itu dinyatakan jahat dalam perumusan yang baku dalam narasi peraturan.

Untuk hal ini, Leonard Savitz dalam bukunya “ dilemmas in Criminology” menyatakan, bahwa peraturan dinyatakan jahat secara hukum apabila memenuhi 5 syarat:

1. An act must take place that in valves harm inflicted on someone by the actor.

2. The act must be legally prohibited at the time it is committed.

3. The perpetrator must have criminal intent (mans real) when he engages in the act.

4. There must be a causal relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it.

5. There must be some legally prescribed punishment for anyone convicted of the act.

Rumusan teoritis Savitz tersebut tampaknya dapat dipergunakan sebagai acuan untuk melihat kemungkinan dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, terutama pada angka 1 (satu).
Yakni bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dekriminalisasi dan Kriminalisasi Merupakan Pergulatan dalam Hukum.

Mendekriminalisasi suatu perbuatan pidana tidak hanya melihat satu aspek saja, misal hanya korban diri sendiri tersebut. Sama ketika perbuatan itu dikriminalisasi, pada saat hendak dikriminalisasi juga terdapat alasan alasan yang logis dari segi moral, sosiologis, ekonomi, politik dan aspek lainnya.

Dalam dekriminalisasi juga akan terdapat tarik menarik pandangan mengenai aspek-aspek tersebut. Sebelum pada akhirnya masuk dalam formulasi hukum. Dengan kata lain, terjadi perubahan perundang-undangan.

Memang, dekriminalisasi identik dengan mengubah peraturan pidana. Sebab, muara kriminalisasi adalah hukum. Dalam hal ini Hartjen (1979), mengatakan ; “the criminalization process begins, therefore, with formulation of criminal laws”.

Dalam kaitan ini kita dapat bercermin dengan apa yang telah dialami amerika serikat(AS).
Padatahun 1920-an mulai muncul di kalangan masyrakat AS pengguna narkoba (pada masa itu yang di kenal jenis marijuana). Masyarakat dan juga pemerintah, belum dapat melihat bencana yang timbul dari peredaran barang dan zat-zat yang merusak itu. Malah pemerintah tertarik dengan besaran aspek ekonomi perdangangan marijuana. Karena itu, pada tahun 1937 muncul uu yang disebut marijuana tax act. Undang undang ini sama sekali tidak dimaksud untuk membendung baha narkotika aspek yang di timbang adalah penerimaan Negara dari pajak marijuana.

Lambat laun masyarakat mulai menyadari bahaya peredaran marijuana. Sejalan dengan hal ini BNN AS(federal bureau narcotics) berhasil menyakinkan kongres tentang bahaya peredaranobat bius. Pada saat yang sama, biro narkotika tersebut jiga gencar berkampanye kepada masyarakat tentang daya rusak narkotika. Berkat upaya keras tersebut, akhinya di AS untuk pertama kalinya keluar uu yang melarang pemakaian, peredaran dan memproduksikan secara melawan hukum narkotika dan obat-obat terlarang. Akibat berlakunya UU ini, “ a new class of criminalis was instantly created (hartjen, dalam bukunya crime and criminalization)”. Para pengguna tidak hanya sebagai korban, tapi juga di pandang sebagai pelaku kejahatan.

Kondisi dilematis

Situasi paradoks tersebut juga di alami Indonesia pada saat ini. Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no.2/1997 tentang Narkotika kondisi dilematis itu termaksud dalam ketentuan ketentuan sebagai berikut:

1. pengguna sebagai korban.

a. pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan:

“pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan da atau perawatan”.

b. pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 pada pokonya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawaan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara syah.disampaing itu dalam pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.

Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak di pidana, karena ia adalah korban dan perlu di tolong.

2. pengguna narkoba sebagai pelaku kejahatan.

Perlu digaris bawahi, bahwa tidak mungkinn seseorang penyalahguna narkoba, dalam tindakan menyalah gunakan tersebut ia memiliki narkoba. Padahal semula tindakan tersebut dilarang oleh UU dan pelakunya dapat diganjar hukuman yang keras.

a. pasal 59 UU no. 5/1997 pada pokoknya menyatakan bahwa memiliki, menyimpan dan atau membawa zat psikotropika secara melawan hukum di pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.

b. Pasal 60 UU no. 5/1997 pada prinsipnya menegaskan, bahwa menyalurkan, menerima penyaluran, dan psikotropika secara dilarang dengan ancaman pidana cukup keras, bahkan pada pasal 65 dicantumkan tentang delik omisi (pembiaran), yakni barang siapa tidak melapor kepada berwajib ketika menjumpai penyalahgunaan atau kepemilikan psikotropika secara tidak sah dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 20jt.

c. Larangan menanam, menyimpan, memiliki, mendengarkan dan menggunakan narkotika secara tidak sah terdapat dalam pasal 78 dan 79 UU 22/1997dengan ancaman pidana cukup berat.

Akibat adanya paradoks dalam perundang-undangan tersebut, jumlah pelaku tindak pidana narkoba melonjak cukup signifikan. Konsekuensinya LP lembaga pemasyarakatan penuh sesak. Realitas ini menggugah pemikiran, mungkinkah dilakukan dekriminalisasi, atau setidak tidaknya penyalah guna narkoba sebagai korban, tidak lagi ditambahi dan stigma pelaku tindak pidana.

Apabila alasan dekriminalisasi adalah penuhnya lapas, tampaknya pertimbangan ini kurang mempunyai hubungan logis dengan persoalan yang dihadapi bangsa untuk mengatasi belitan narkoba.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa penunya lapas, karena pemerintah belum cukup mampu menyesiakan prasarana serupa. Jika permasalahannya pada keterlambatan anggaran, maka sama sekali tidak tepat bila jawabannya adalah dekriminalisasi tindak pidana narkoba.

Narkoba telah merupakan bencana nasional. Sebagai contoh, untuk tingkat kabupaten seperti kediri, baru baru ini (maret 2007) mencanangkan kejadian luar biasa 9KLB) narkoba. Diwilayah itu, hanya untuk bulan maret 2007, terdapat 47 orang over dosis, dan 16 orang diantaranya tewas (tempa interaktif).

Pada tingkat nasional, diperkirakan 15.000 orang meninggal akibat narkoba. Jumlah tersebut sama dengan 40 orang perhari. Penelitian BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2004 memperkirakan, beasaran biaya ekonomi, khususnya untuk pecandunya yang berjumlah 3,6jt di tahun itu, sekitar Rp.23,6 triliun. Angka estimasi yang disodorkan Hendry Yosodiningrat lebih tinggi lagi. Ia memperkirakan pecandu narkoba 4 juta orang. Dengan asumsi pengguna ratarata menghabisakan Rp.200rb sehari, uang yang tersedot sia-sia untuk benda haram tersebut 292 triliun (gatra desember 2006).

Melihat batasan-batasan tersebut. Jelas bahwa masyarakat dalam kondisi terancam, dan karenanya perlu dilindungi . melindungi penyalahguna narkoba sebagai korban adalah penting, tapi yang lebih penting lagi adalah mencegah masyarakat jangan sampai jatuh dalam belitan narkoba.

Secara umum pencegahan kejahatan (crime prevention) meliputi strategi dan teknik pencegahan. Di tegaskan bahwa: “once we accept the idea of crime preventions, can begin to develop appropriate strategies and technique” (national crime prevention institute, 2001).

Sehubungan dengan crime prevention tersebut, maka proses penetapan kriminalisasi dalam UU no5/1997 dan UU no22/1997 sebaiknya dipandang sebagai strategi dan sekaligus teknik pencegahan kejahatan dalam tindak pidana narkoba, sebab para korban narkoba mengalami apa yang disebut “kurva terbalik”. Ketika orang menjadi pecandu narkoba, terus mengalami penurunan dalam segala hal, terutama fisik dan financial, yaitu untuk membeli narkoba. Sampai pada tingkat tertentu, kondisi tidak lagi tertangung, keuangan secarah sah tidak mencukupi untuk membeli narkoba. Korban akhirnya mengalami deprivasi yakni ketidak seimbangan antara kebuthan yang mendesak dengan keterseiaan keuangan.

Dalam kondisi deprivasi tersebut, korban sangat rentan terhadap kemungkinan segera turut menjadi pengedar. Karena dengan menjadi pengedar kebutuhan akan konsumsi narkoba lebih cepat terpenuhi. Dengan demikian, para pengguna narkoba merupakan kelompok yang paling potensial untuk mengedarkan benda haram tersebut. Untuk itu”menyentuhpun jangan “ terhadap benda terlarang sebagaimana sekarang ditetapkan dalam perUUan, boleh jadi merupakan langkah yang tepat ditinjau dari segi pencegahan kejahatan.

Tingginya peredaran narkoba di dalam lapas, merupakan bukti bahwa penyalahgunaan narkoba paling potensial untuk memperluas jarinagn drug trafficking. Dalam kondisi semacam ini jelas dekriminalisasi merupakan langkah yang semakin sempit untuk ditempuh.

Oleh : Prof. DR. Tb Ronny Rahman Nitibaskara

Tidak ada komentar: