Rabu, 14 Mei 2008

Hak Anda sebagai Tahanan

1. APAKAH PENAHANAN ITU ?
Penahanan adalah upaya paksa menempatkan Tersangka/Terdakwa disuatu tempat yang telah ditentukan, karena alasan dan dengan cara tertentu (Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1).

2. DIMANAKAH PARA TAHANAN DI TEMPATKAN?
Selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan, Tersangka/Terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara atau Rutan (PP No. 27 tahun 1993 pasal 1). Tetapi ada juga tahanan yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, karena berdasarkan SK MENKEH RI No. M. 03.UM.01.06 tahun 1983, beberapa Lembaga Pemasyarakatan tertentu dapat ditetapkan sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN).

3. PIHAK-PIHAK YANG BERHAK MENAHAN
a. Penyidik, yaitu polisi atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk melakukan serangkaian tindakan pengumpulan bukti
b. Penuntut Umum, yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c. Hakim, baik hakim Pengadilan Negeri maupun hakim Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yaitu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

4.ALASAN PENAHANAN (pasal 21 KUHAP)
Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap Tersangka/Terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan melakukan tindak pidana, atau yang memberi bantuan dalam melakukan tindak pidana tersebut, dalam hal:
o Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
o Atau terhadap orang yang melakukan tindak pidana, misalnya penganiayaan (pasal 351 ayat 1 dan pasal 353 ayat 1), penggelapan, penipuan (pasal 372, 378 dan 379a), mencari nafkah dengan memudahkan orang melakukan percabulan (germo/mucikari) pasal 296, mucikari yang melakukan eksploitasi pelacur (pasal 506) dan berbagai tindak pidana lainnya. Serta pelanggaran peraturan Bea & Cukai (pasal 25 dan pasal 26 Ordonansi Bea & Cukai), juga pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No.8 Drt 1955) sebagaimana diatur dalam pasal 1,2 dan pasal 4. Penggunaan Narkotika pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976.
o
5. BATAS WAKTU PENAHANAN
5.1. Penahanan oleh Polisi dan pejabat lain (pasal 24 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 20 (dua puluh) hari. Bila masih diperlukan --dengan seijin Penuntut Umum--, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Jika sebelum 60 hari pemeriksaan telah selesai, Tahanan dapat dikeluarkan dan jika sampai 60 hari perkara belum juga putus maka demi hukum, Penyidik (Polisi) harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
5.2. Penahanan atas perintah Penuntut Umum (pasal 25 KUHP)
Batas waktunya paling lama 20 (dua puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Negeri, waktu dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu 50 hari, Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan. Lepas 50 hari, meski perkara belum diputus, tapi demi hukum PenuntutUumum harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
5.3. Penahanan atas surat perintah penahanan Hakim Pengadilan Negeri (pasal 26 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bila belum selesai, penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari dengan seijin Ketua Pengadilan Negeri. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu maksimal, Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan. Jika batas waktu maksimal (90 hari) telah habis, meski perkara belum diputus, demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan.
5.4. Penahanan atas surat perintah penahanan hakim Pengadilan Tinggi (pasal 27 KUHP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan seijin Ketua Pengadilan Tinggi, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari. Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum batas waktu maksimal (90 hari), jika pemeriksaan telah selesai. Jika telah 90 (sembilan puluh) hari perkara belum diputus, maka demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan.
5.5. Penahanan atas perintah penahanan Mahkamah Agung (pasal 28 KUHAP)
Untuk kepentingan pemeriksaan kasasi, batas waktu penahanan paling lama 50 (lima puluh) hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang dengan batas waktu paling lama 60 (enam puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan. Jika pemeriksaan telah selesai sebelum jangka waktu 110 hari, Terdakwa/Tersangka dapat dikeluarkan. Meski perkara belum diputus, tetapi jika Terdakwa/Tersangka telah menjalani tahanan selama seratus sepuluh (110) hari, maka demi hukum ia harus dikeluarkan.

6. JENIS PENAHANAN (Pasal 22 KUHAP)
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara
Tersangka/Terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau di Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rumah Tahanan Negara.
b. Penahanan Rumah
Penahanan dilaksanakan di tempat tinggal atau tempat kediaman Tersangka/Terdakwa, dengan tetap dibawah pengawasan pihak yang berwenang untuk menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 KUHAP ayat 2).
c. Penahanan Kota
Penahanan dilaksanakan di kota tempat tinggal tersangka/terdakwa. Tersangka/Terdakwa wajib melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 KUHAP ayat 3)

7. PENGECUALIAN PERPANJANGAN (pasal 29 KUHAP)
Ketentuan perpanjangan waktu penahanan (30 sampai 60 hari) berlaku bagi setiap Tahanan. Kecuali bila ada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, misalnya: karena Tersangka/Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat (dengan surat keterangan dokter), atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Untuk kondisi-kondisi tersebut, setiap Tersangka/Terdakwa berhak mengajukan keberatan terhadap perpanjangan batas waktu penahanan ini melalui Ketua Pengadilan Tinggi (untuk tingkat penyidikan dan penuntutan). Sedang untuk tingkat Pengadilan Negeri dan pemeriksaan banding, pengajuan itu ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung.

8. PENGURANGAN MASA TAHANAN (Pasal 22 ayat 4 dan 5)
Jika hukum pidana telah dijatuhkan, maka masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota, pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan. Sedang untuk penahanan rumah, pengurangannya sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

9. HAK ANDA SEBAGAI TAHANAN
Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim dari petugas. Surat penahanan berisi identitas anda, alasan penahanan serta uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan atau didakwakan kepada anda serta tempat anda ditahan nantinya (pasal 21 ayat 2 KUHAP),
1. Meminta petugas menyerahkan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga anda (pasal 21 ayat 3 KUHAP),
2. Ditempatkan secara terpisah berdasarkan jenis kelamin, umur serta tingkat pemeriksaan (pasal 1 ayat 2 PerMenkeh RI No. M.04.UM.01.06 tahun 1983),
3. Mendapat perawatan yang meliputi makanan, pakaian, tempat tidur, kesehatan rohani dan jasmani (pasal 5 PerMenkeh RI)
4. Tidak diberlakukan wajib kerja bagi tahanan dan bila anda ingin bekerja secara sukarela, anda harus mendapatkan ijin dari instansi yang menahan (pasal 15 PerMenkeh RI )
5. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik, diajukan kepada penuntut umum dan kemudian proses ke pengadilan (pasal 50 ayat 1 dan 2 KUHAP)
6. Dapat secara bebas memberikan keterangan kepada penyidik (pasal 52 KUHAP)
7. Mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum selama pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Anda bebas memilih sendiri penasihat hukum anda (pasal 54 dan 55 KUHAP)
8. Mendapatkan Bantuan Hukum secara cuma-cuma, bila tidak mampu (pasal 56 ayat 2 KUHAP)
9. Bebas menghubungi penasihat hukum (pasal 57 ayat 1 KUHAP)
10. Mendapatkan kunjungan dari keluarga, penasihat hukum dan orang lain (pasal 18 ayat 1 PerMenkeh RI)
11. Bebas melakukan surat-menyurat dengan penasehat hukum atau sanak keluarga (pasal 18 ayat 4 PerMenkeh RI)
12. Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah (pasal 68 KUHAP)

10. BAGAIMANA DENGAN PEREMPUAN HAMIL DAN MENYUSUI ?
Pada prinsipnya, hak bagi Tahanan perempuan yang sedang hamil dan menyusui tidak berbeda dengan Tahanan lainnya. Perbedaannya hanya pada menu makanan. Menu makanan bagi Tahanan perempuan yang hamil dan menyusui, diatur tersendiri dan berbeda dengan mereka yang dalam kondisi normal (diatur di pasal 7 PerMenkeh RI).

11.PERBEDAAN DITAHAN DAN DIPENJARA
Umumnya orang menganggap, bahwa ditahan sama dengan dipenjara. Padahal tidak demikian. Seseorang ditahan jika diduga keras melakukan kejahatan, karenanya untuk sementara dia dimasukkan ke dalam tahanan untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan dari perkara yang disangkakan kepadanya. Berarti dia belum tentu bersalah dan bisa saja dibebaskan bila dalam penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tersebut tidak ditemukan bukti bahwa dia bersalah.
Sedangkan seseorang dipenjara karena dia telah terbukti melakukan kejahatan dan telah menerima keputusan hakim (vonis) yang bersifat tetap.

12. INGAT HAK ANDA
Jika anda berstatus sebagai Tahanan dan hak anda sebagai Tahanan telah dilanggar oleh pihak lain seperti polisi, penyidik atau aparat penegak hukum lainnya, anda dapat melaporkan pelanggaran tersebut kepada Departemen Kehakiman atau ke Komnas HAM.

Jumat, 09 Mei 2008

SUBTANSI HAM

PENGERTIAN-PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM meliputi :

1. kejahatan genosida;

2. kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

1. Membunuh anggota kelompok;

2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

1. pembunuhan;

2. pemusnahan;

3. perbudakan;

4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

6. penyiksaan;

7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

9. penghilangan orang secara paksa; atau

10. kejahatan apartheid.

(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Strategi Advokasi

Strategi Advokasi (Upaya Penegakkan Hukum dan Keadilan)

Adokasi adalah suatu cara terencana dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.

Dulu kegiatan advokasi hanya dilakukan oleh para aktivis atau elit politik, model advokasi yang lebih maju justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama. Sedangkan aktivis ataupun lembaga advokasi hanya sebagai pengantar atau pendukung terhadap advokasi yang dilakukan masyarakat.

Mengapa perlu dilakukan advokasi?

Seringkali suatu kebijakan keluar tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan atau rasa keadilan masyarakat. Atau pelaksanaan kebijakan tidak berjalan sebagaimana mestinya., sedangkan pembuat dan atau pelaksana kebijakan tidak perlu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Sehingga masyarakat sebagai subjek pembangunan harus mau dan mampu mendesakkan perubahan tersebut agar tidak terus menerus dirugikan.

Tahapan-tahapan strateginya biasanya adalah:

  1. Bentuk lingkar Inti

Untuk membuat suatu gerakan yang terorganisir diperlukan beberapa orang sebagai coordinator dan motivator. Orang-orang inilah yang bertugas menyusun strategi, mengorganisir dan mendorong masyarakat lain untuk ikut. Lingkar inti daoat terdiri dari beberapa wakil masyarakat (tokoh masyarakat, pemuda atau paralegal). Sebaiknya lingkar inti dibentuk dari awal gerakan advokasi hingga proses pemantauan.

  1. Kumpulkan data/informasi

Sebelum mengadvokasi sebuah kasus, sebaiknya sebanyak mungkin dikumpulkan informasi dan data mengenai apa saja yang berhubungan dengan kasus. Jangan lupa catat setiap perkembangan kasus.

  1. analisis data

dari data yang terkumpul. Dilakukan analisa apa saja kekukrangan dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, untuk menyusun perencanaan ke depan yang lebih terorgainisir

  1. Bangun basis-pelibatan masyarakat

Memotivasi masyarakat agar terlibat dalam setiap proses atau tahapan advokasi.

  1. Bangun Jejaring

Agar gerakan berjalan kuat dan efektif perlu sebanyak-banyaknya mencari sekutu untuk diajak bekrja sama atau membantu melancarkan, atau memberi jalan dalam melancarkan advokasi, sekaligus dalam hal ini dilakukan pembagian tugas. Biasanya pada tahap ini jaringan dibentuk dengan berbagai latar belakan/profesi, dapat terdiri dari LSM/ organsisai non politik dan media massa atau perorangan yang punya pengaruh

  1. Lancarkan tekanan

Advokasi dapat dilakkan dengan cara memlakukan tekanan ke berbagai pihak dengan berbagai cara, mulai dari yang bersifat lunak, missal: dengan mempengaruhi pendapat umum melalui tulisan di media massa,, denga mengirim surat ke berbagai instansi terkait, DPRD dan badan lainnya. Atu demonstrasi dan aksi lainnya, asal tidak melakukan tindakan anarkis

  1. Pengaruhi Pembuat dan Pelaksana Kebijakan

Dekati dan ajak diskusi orang, instansi atau wakil dari pemerintah dan DPR dan secara proaktif memberi tahu para pembuat kebijakan arti penting penanganan kasu tersbut bagi masyarakat setempat dan pembangunan secara umum.

  1. Lakukan Pembelaan

Pembelaan sebenrnya salah satu contoh dalam tahapan melancarkan tekanan, yang dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan class action, atau untuk kasus pidana dengan jalan secara rutin dan terpadu memantau perkembangan penyelsaian kasus, dari tahap kepolisian sampai pengadilan.

Sumber: Buku Panduan Paralegal:proses hukum pidana, perdata dan pengorganisasian rakyat untuk advokasi
Peneibit The World Bank

SEMPITNYA PELUANG DEKRIMINALISASI PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI INDONESIA

Jika kita membicarakan mengenai dekriminalisasi suatu perbuatan, tentu perbuatan yang akan di-dekriminalisasikan tersebut telah di kriminalisasikan terlebih dahulu, atau dinyatakan sebagai suatu kejahatan dalam perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, kita juga harus melihat bagaimana perbuatan itu dinyatakan jahat dalam perumusan yang baku dalam narasi peraturan.

Untuk hal ini, Leonard Savitz dalam bukunya “ dilemmas in Criminology” menyatakan, bahwa peraturan dinyatakan jahat secara hukum apabila memenuhi 5 syarat:

1. An act must take place that in valves harm inflicted on someone by the actor.

2. The act must be legally prohibited at the time it is committed.

3. The perpetrator must have criminal intent (mans real) when he engages in the act.

4. There must be a causal relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it.

5. There must be some legally prescribed punishment for anyone convicted of the act.

Rumusan teoritis Savitz tersebut tampaknya dapat dipergunakan sebagai acuan untuk melihat kemungkinan dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, terutama pada angka 1 (satu).
Yakni bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dekriminalisasi dan Kriminalisasi Merupakan Pergulatan dalam Hukum.

Mendekriminalisasi suatu perbuatan pidana tidak hanya melihat satu aspek saja, misal hanya korban diri sendiri tersebut. Sama ketika perbuatan itu dikriminalisasi, pada saat hendak dikriminalisasi juga terdapat alasan alasan yang logis dari segi moral, sosiologis, ekonomi, politik dan aspek lainnya.

Dalam dekriminalisasi juga akan terdapat tarik menarik pandangan mengenai aspek-aspek tersebut. Sebelum pada akhirnya masuk dalam formulasi hukum. Dengan kata lain, terjadi perubahan perundang-undangan.

Memang, dekriminalisasi identik dengan mengubah peraturan pidana. Sebab, muara kriminalisasi adalah hukum. Dalam hal ini Hartjen (1979), mengatakan ; “the criminalization process begins, therefore, with formulation of criminal laws”.

Dalam kaitan ini kita dapat bercermin dengan apa yang telah dialami amerika serikat(AS).
Padatahun 1920-an mulai muncul di kalangan masyrakat AS pengguna narkoba (pada masa itu yang di kenal jenis marijuana). Masyarakat dan juga pemerintah, belum dapat melihat bencana yang timbul dari peredaran barang dan zat-zat yang merusak itu. Malah pemerintah tertarik dengan besaran aspek ekonomi perdangangan marijuana. Karena itu, pada tahun 1937 muncul uu yang disebut marijuana tax act. Undang undang ini sama sekali tidak dimaksud untuk membendung baha narkotika aspek yang di timbang adalah penerimaan Negara dari pajak marijuana.

Lambat laun masyarakat mulai menyadari bahaya peredaran marijuana. Sejalan dengan hal ini BNN AS(federal bureau narcotics) berhasil menyakinkan kongres tentang bahaya peredaranobat bius. Pada saat yang sama, biro narkotika tersebut jiga gencar berkampanye kepada masyarakat tentang daya rusak narkotika. Berkat upaya keras tersebut, akhinya di AS untuk pertama kalinya keluar uu yang melarang pemakaian, peredaran dan memproduksikan secara melawan hukum narkotika dan obat-obat terlarang. Akibat berlakunya UU ini, “ a new class of criminalis was instantly created (hartjen, dalam bukunya crime and criminalization)”. Para pengguna tidak hanya sebagai korban, tapi juga di pandang sebagai pelaku kejahatan.

Kondisi dilematis

Situasi paradoks tersebut juga di alami Indonesia pada saat ini. Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no.2/1997 tentang Narkotika kondisi dilematis itu termaksud dalam ketentuan ketentuan sebagai berikut:

1. pengguna sebagai korban.

a. pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan:

“pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan da atau perawatan”.

b. pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 pada pokonya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawaan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara syah.disampaing itu dalam pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.

Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak di pidana, karena ia adalah korban dan perlu di tolong.

2. pengguna narkoba sebagai pelaku kejahatan.

Perlu digaris bawahi, bahwa tidak mungkinn seseorang penyalahguna narkoba, dalam tindakan menyalah gunakan tersebut ia memiliki narkoba. Padahal semula tindakan tersebut dilarang oleh UU dan pelakunya dapat diganjar hukuman yang keras.

a. pasal 59 UU no. 5/1997 pada pokoknya menyatakan bahwa memiliki, menyimpan dan atau membawa zat psikotropika secara melawan hukum di pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.

b. Pasal 60 UU no. 5/1997 pada prinsipnya menegaskan, bahwa menyalurkan, menerima penyaluran, dan psikotropika secara dilarang dengan ancaman pidana cukup keras, bahkan pada pasal 65 dicantumkan tentang delik omisi (pembiaran), yakni barang siapa tidak melapor kepada berwajib ketika menjumpai penyalahgunaan atau kepemilikan psikotropika secara tidak sah dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 20jt.

c. Larangan menanam, menyimpan, memiliki, mendengarkan dan menggunakan narkotika secara tidak sah terdapat dalam pasal 78 dan 79 UU 22/1997dengan ancaman pidana cukup berat.

Akibat adanya paradoks dalam perundang-undangan tersebut, jumlah pelaku tindak pidana narkoba melonjak cukup signifikan. Konsekuensinya LP lembaga pemasyarakatan penuh sesak. Realitas ini menggugah pemikiran, mungkinkah dilakukan dekriminalisasi, atau setidak tidaknya penyalah guna narkoba sebagai korban, tidak lagi ditambahi dan stigma pelaku tindak pidana.

Apabila alasan dekriminalisasi adalah penuhnya lapas, tampaknya pertimbangan ini kurang mempunyai hubungan logis dengan persoalan yang dihadapi bangsa untuk mengatasi belitan narkoba.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa penunya lapas, karena pemerintah belum cukup mampu menyesiakan prasarana serupa. Jika permasalahannya pada keterlambatan anggaran, maka sama sekali tidak tepat bila jawabannya adalah dekriminalisasi tindak pidana narkoba.

Narkoba telah merupakan bencana nasional. Sebagai contoh, untuk tingkat kabupaten seperti kediri, baru baru ini (maret 2007) mencanangkan kejadian luar biasa 9KLB) narkoba. Diwilayah itu, hanya untuk bulan maret 2007, terdapat 47 orang over dosis, dan 16 orang diantaranya tewas (tempa interaktif).

Pada tingkat nasional, diperkirakan 15.000 orang meninggal akibat narkoba. Jumlah tersebut sama dengan 40 orang perhari. Penelitian BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2004 memperkirakan, beasaran biaya ekonomi, khususnya untuk pecandunya yang berjumlah 3,6jt di tahun itu, sekitar Rp.23,6 triliun. Angka estimasi yang disodorkan Hendry Yosodiningrat lebih tinggi lagi. Ia memperkirakan pecandu narkoba 4 juta orang. Dengan asumsi pengguna ratarata menghabisakan Rp.200rb sehari, uang yang tersedot sia-sia untuk benda haram tersebut 292 triliun (gatra desember 2006).

Melihat batasan-batasan tersebut. Jelas bahwa masyarakat dalam kondisi terancam, dan karenanya perlu dilindungi . melindungi penyalahguna narkoba sebagai korban adalah penting, tapi yang lebih penting lagi adalah mencegah masyarakat jangan sampai jatuh dalam belitan narkoba.

Secara umum pencegahan kejahatan (crime prevention) meliputi strategi dan teknik pencegahan. Di tegaskan bahwa: “once we accept the idea of crime preventions, can begin to develop appropriate strategies and technique” (national crime prevention institute, 2001).

Sehubungan dengan crime prevention tersebut, maka proses penetapan kriminalisasi dalam UU no5/1997 dan UU no22/1997 sebaiknya dipandang sebagai strategi dan sekaligus teknik pencegahan kejahatan dalam tindak pidana narkoba, sebab para korban narkoba mengalami apa yang disebut “kurva terbalik”. Ketika orang menjadi pecandu narkoba, terus mengalami penurunan dalam segala hal, terutama fisik dan financial, yaitu untuk membeli narkoba. Sampai pada tingkat tertentu, kondisi tidak lagi tertangung, keuangan secarah sah tidak mencukupi untuk membeli narkoba. Korban akhirnya mengalami deprivasi yakni ketidak seimbangan antara kebuthan yang mendesak dengan keterseiaan keuangan.

Dalam kondisi deprivasi tersebut, korban sangat rentan terhadap kemungkinan segera turut menjadi pengedar. Karena dengan menjadi pengedar kebutuhan akan konsumsi narkoba lebih cepat terpenuhi. Dengan demikian, para pengguna narkoba merupakan kelompok yang paling potensial untuk mengedarkan benda haram tersebut. Untuk itu”menyentuhpun jangan “ terhadap benda terlarang sebagaimana sekarang ditetapkan dalam perUUan, boleh jadi merupakan langkah yang tepat ditinjau dari segi pencegahan kejahatan.

Tingginya peredaran narkoba di dalam lapas, merupakan bukti bahwa penyalahgunaan narkoba paling potensial untuk memperluas jarinagn drug trafficking. Dalam kondisi semacam ini jelas dekriminalisasi merupakan langkah yang semakin sempit untuk ditempuh.

Oleh : Prof. DR. Tb Ronny Rahman Nitibaskara

Minggu, 04 Mei 2008

NARKOBA DI INDONESIA

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance). Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan. Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.